Catatan-Catatan tentang Musik
Pertama-tama harus ditekankan bahwa membicarakan musik adalah suatu
paradoks. Paradoks dalam arti, saya percaya bahwa musik adalah suatu
entitas yang berada di luar bahasa. Ketika kita berupaya membicarakan
musik, maka sesungguhnya hal tersebut tidak bisa betul-betul menyentuh
si musik. Bahasa hanya bisa menyentuh luaran-luarannya saja. Musik
adalah sesuatu yang hanya bisa kita setubuhi langsung saja untuk
memahaminya. Namun juga saya percaya bahwa manusia kerap rindu untuk
menangkap segala fenomena agar dapat dikurungnya dalam bahasa - meski
mereka paham bahwa bahasa hanya untuk mendekati realitas saja dan bukan
merepresentasikannya secara utuh -. Jadi mari kita nikmati paradoks
tersebut secara asyik saja.
1. Musik dan Definisi
Bukan tanpa dasar jika mereka, para penggelut di bidang musik, entah itu
komposer atau musisi, punya definisi sendiri-sendiri tentang musik.
Meski mereka menyetubuhi langsung musik dalam pengalamannya, namun tetap
saja ada kerinduan untuk -itu tadi- mengurung kompleksitas musik dalam
bahasa. Misalnya Mazzini mengatakan tentang, "Musik adalah gema dari
dunia yang tidak terlihat." Nietzsche mendefinisikannya dengan cara
sesuatu yang dalam ilmu logika disebut dengan definisi tujuan, "Musik
adalah sesuatu yang jika tidak ada ia, maka hidup menjadi semacam
kesalahan." Guru musik saya, Venche, juga mencoba mendefinisikan, "Musik
adalah anugerah Tuhan yang paling emosional." Bernstein punya definisi
yang lebih puitik, "Musik dapat menamai sesuatu yang tak bernama, dan
mengomunikasikan sesuatu yang sebelumnya tak dapat diketahui." Dari
segelintir definisi tersebut saja setidaknya sudah dapat diketahui bahwa
musik hanya bisa didekati lewat "bahasa batin". Kita tidak akan sanggup
secara utuh memahami maksud Mazzini, Nietzsche, Venche ataupun
Bernstein jika tidak punya pengalaman langsung bersentuhan dengan
musik.
Upaya untuk memasukkan musik dalam term-term yang objektif barangkali
malah mempermiskin musik itu sendiri. Misalnya, saya akan kutip definisi
musik menurut suatu sumber yang saya agak lupa -tapi semacam panduan
musik untuk pemula-, "Musik adalah gabungan dari melodi, ritmik, dan
harmoni yang bergabung secara utuh." Definisi yang terakhir ini agaknya
lebih mudah untuk dipahami, tapi tentu saja mengesampingkan banyak
sekali musik-musik yang berbasiskan melodi saja ataupun ritmik saja.
Bahkan pada tingkat filosofis, kita bisa menemukan bahwa segala
bebunyian pun pada dasarnya adalah musik. Pada kesimpulannya, musik
barangkali bisa didekati oleh istilah-istilah yang "melampaui" realitas,
atau sederhananya, bahasa puisi. Itu pula yang dilakukan Reza, seorang
penikmat musik yang cukup akut, jika ia menjawab pertanyaan-pertanyaan
saya mengenai musik ini dan itu. Ia pada akhirnya lebih suka untuk
mengatakan, "Dengerin aja deh." Mungkin ini mengandung maksud:
Tangkaplah dengan batinmu, bahasakan dengan telingamu, karena yang
semacam ini tak mungkin diucap.
2. Musik dan Realitas
Kita bisa memahami bahwa karya rupa pada level tertentu bisa dinilai
bagus tidaknya dari apakah dia sanggup mengimitasi realitas atau tidak.
Tapi musik agaknya, pada level apapun, ia susah sekali untuk kita nilai
kemiripannya dengan realitas. Artinya, secara ekstrim, musik tidak
meniru sesuatu apapun dari dunia ini (yang terlihat mata). Kendatipun
demikian, kita juga barangkali setuju jika musik tertentu ternyata bisa
merepresentasikan sesuatu secara baik. Misalnya, dari pengalaman estetis
pribadi, saya menemukan suatu kemiripan semangat antara karya sastra Also Sprach Zarathustra-nya
Nietzsche dengan karya musik dengan judul yang sama oleh Richard
Strauss. Musik Strauss yang diinspirasi oleh bukunya Nietzsche ini,
punya representasi yang "mirip" -Tapi sekali lagi, kemiripan ini hanya
bisa diwakilkan oleh bahasa batin dan bukan objektif-. Contoh lainnya
adalah musik-musik dengan tempo di marchia mungkin bisa dianggap
punya kemiripan semangat dengan orang-orang yang sedang memuja
nasionalismenya. Contoh paling mudah untuk memahami hal ini adalah
dengan melihat film. Kita bisa dengan sangat gamblang mengatakan music scoring yang
baik adalah jika dia ada kesesuaian dengan adegan-adegannya dan malah
memperkuat adegan itu sehingga lebih terpatri dalam ingatan (Misal:
Susah sekali untuk melepaskan dari ingatan bagaimana suara terompet
dalam karya Nino Rota tergabung dalam adegan pembuka ketika Don Vito
Corleone duduk di kursi kekuasaannya dalam film The Godfather).
Namun asumsi ini juga bisa dibantah dengan cara: Bisakah representasi
itu dikonstruksi saja? Misalnya, apakah bisa jika adegan dalam film The Godfather
itu kita ganti dengan musiknya Charlie Parker, ia tetap
merepresentasikan? Atau sesungguhnya representasi itu hanya ada dalam
kepala kita saja? Contoh menarik lainnya ada pada bagaimana saya
mendengarkan musik-musik dari Joe Satriani yang tidak berlirik dan hanya
mengandalkan kekuatan melodi gitarnya saja. Kalimat-kalimat melodis ini
kemudian ia beri judul macam-macam mulai dari The Extremist, Crystal Planet, Surfing with The Alien, ataupun Crushing Day.
Awal mulanya saya memuja Satriani karena ada kecocokan antara melodi
gitar, judul, dengan fenomena asalinya. Tapi lama-lama saya menyadari
bahwa judul-judul itu bisa saja diganti oleh apapun dan kita tetap
merasa cocok oleh sebab representasi barangkali hanya terjadi dalam
kepala kita.
Namun jika musik kemudian tidak merepresentasikan apapun, tentu saja
musik menjadi tidak seperti apa yang Bernstein katakan sebagai
"mengomunikasikan apa yang tidak diketahui". Agaknya representasi lewat
musik ini memasuki pengalaman kita tidak lewat perangkat-perangkat yang
sifatnya kognitif, melainkan langsung mengomunikasikan diri ke
"ketergugahan perasaan". Artinya -saya harus menggunakan bahasa batin
disini- barangkali segala realitas di dunia ini pada level sekecil
apapun, punya "aspek musikal"-nya sendiri yang kemudian diterjemahkan
menjadi musik. Ini persis kasusnya seperti bagaimana orang kulit hitam
menciptakan blues dalam suasana ketertindasan. Perasaan-perasaan
kesenduan itu juga muncul ketika kita juga mendengarkan musik blues
(meski belakangan muncul blues muncul dalam versi yang lebih cepat dan
riang, tapi kita tidak bisa menampik bahwa blue note yang muncul
dari melodi blues punya efek murung yang kuat). Musik pop yang pro-pasar
rata-rata menggunakan teknik representasi ini dengan menipu lewat
penggunaan lirik. Lirik bagaimanapun merepresentasikan realitas lewat
jalur kognitif - bukan dengan cara musik "berbicara"- Kita tidak tahu
apakah lagu Makhluk Tuhan Paling Seksi itu mampu merepresentasikan realitas secara musikal atau lirikal? Tapi sebaliknya, Humoresque-nya Dvorak, meski tanpa lirik, apakah bisa kita merasakan ada komedi dalam unsur-unsur musiknya?
3. Musik dan Spiritualitas
Berikutnya adalah pertanyaan: Apakah musik bisa mengangkat kesadaran
seseorang hingga pada level yang transenden? Jawabannya tentu saja bisa.
Meski demikian, ada fakta bahwa dalam aliran-aliran keagamaan tertentu,
penggunaan musik ini menjadi pro dan kontra. Ada yang menggunakannya
sebagai alat bantu dalam beribadah, ada juga yang melarangnya sama
sekali (Saya bahkan pernah didemonstrasi oleh anak-anak pesantren karena
membiarkan perempuan menyanyi di kelas). Ada yang mengatakan bahwa
musik memang transenden, tapi jenis transendensinya adalah palsu
(Transendensi via musik adalah sesuatu yang tidak mengarah pada Tuhan).
Namun ini adalah perdebatan panjang dan tidak pernah selesai terutama
jika dikaitkan dengan definisi Tuhan itu sendiri. Agaknya Tuhan dalam
agama-agama tertentu tidak mencitrakan dirinya sebagai "entitas yang
musikal" sehingga mereka lebih baik didekati secara kognitif
(hitung-hitungan ibadah) dan bukan oleh perasaan-perasaan yang
emosional. Maka itu bisa dimengerti kekecewaan Nietzsche pada
Tuhan-Tuhan Semit lewat ungkapannya, "Aku hanya akan percaya Tuhan yang
bisa menari." Inilah kerinduan Nietzsche pada "Tuhan musikal".
Agaknya dari perdebatan tersebut musik justru menunjukkan keunggulannya:
Ia menangkap spirit transendensi Tuhan; Ia menangkap "esensi musikal"
dari Tuhan. Maksudnya, musik tertentu semacam yang digarap Alice
Coltrane, John Mclaughlin atau Nusrat Fateh Ali Khan misalnya, punya
tendensi untuk menangkap monad-monad Ketuhanan. Tidak usah jauh-jauh
sebenarnya, musik yang kita curigai "sekuler" seperti dari The Beatles
ataupun Bob Dylan, punya nilai spiritualitas yang hanya bisa dihasilkan
secara khas oleh musik. Singkat kalimat, musik memberikan suatu
kesadaran transenden yang lain sama sekali dengan apa yang dimaksudkan
oleh agama-agama. Namun ia tetap mewakili suatu perasaan emosional
seperti halnya pengalaman religius seseorang yang begitu dalam dan
pribadi. Kesamaan-kesamaan ini seharusnya disyukuri oleh agama-agama dan
bukannya dijauhi sebagai bentuk kekufuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar